Blogger Widgets Psychology - KBK PENULISAN ILMIAH

Foto

Foto
PAXIOO :) *muka berantakan abis belajar*

Tuesday, November 11, 2014

Dampak Pengasuhan Orangtua Otoriter terhadap Perkembangan Psikososial Anak Usia 6-12 Tahun

Latar Belakang Masalah
      Banyak orangtua yang masih menganut sistem asuh anak dengan cara orangtua mereka sebelumnya. Masih banyak orangtua yang membentuk anaknya sesuai dengan kemauan dirinya, tanpa melihat potensi dan minat anaknya. Sehingga dapat menyia-nyiakan kemampuan anak tersebut.
     Setiap orangtua pasti menginginkan anaknya untuk sukses. Terdapat banyak cara untuk mencapai tujuannya tersebut. Namun, ada cara-cara yang tidak baik sehingga terdapat akibat buruk dari cara tersebut (Gunarsa & Gunarsa, 1995).
    Ambron (dikutip dalam Yusuf, 2000, h. 23) mengatakan “sosialisasi itu sebagai proses belajar yang membimbing anak ke arah perkembangan kepribadian sosial sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan efektif”. Jadi sosialisasi itu adalah proses pembelajaran kepribadian sosial sehingga dapat diterima di masyarakat. Sebab, setiap individu membutuhkan sesama untuk kelangsungan hidupnya.
     Menurut Loree (dikutip dalam Santoso et al., 2014, p. 4) ”sosialisasi merupakan suatu proses di mana individu (terutama) anak melatih kepekaan dirinya terhadap rangsangan-rangsangan sosial terutama tekanan-tekanan dan tuntutan kehidupan (kelompoknya) serta belajar bergaul dengan bertingkah laku, seperti orang lain di dalam lingkungan sosialnya”.
     Menurut Baraja (2005, h. 203) “Titik pusat perkembangan sosial pada individu karena adanya hubungan dan interaksi yang terjadi antara dirinya (anak) dengan orang lain”. Jadi, setiap orang membutuhkan hubungan dan interaksi agar seorang individu (anak) dapat berkembang. Tentunya, setiap anak diharapkan berkembang menjadi individu yang baik.
     Namun berkembangnya suatu individu sangat dipengaruhi oleh peran dari keluarga yaitu orangtua. Bagi orangtua yang menganut sistem asuh otoriter. Setiap anaknya akan di bentuk sesuai dengan apa yang ia inginkan, bukan berdasarkan apa yang anak inginkan dan anak mampu.

Jenis-Jenis Tipe Pengasuhan
     Terdapat beberapa jenis tipe pengasuhan menurut Baumrind (2012) yaitu, (a) authoritarian parenting, (b) authoritative parenting, (c) neglectful parenting, dan (d) permissive parenting. Pengertian authoritarian parenting menurut King (2014) “A restrictive, punitive style in which the parent exhorts the child to follow the parent’s directions”. Jadi dalam authoritarian parenting, orang tua “memaksa” anak untuk selalu mengikuti aturan atau perintah dari mereka tanpa memberikan kebebasan seorang anak untuk memilih jalannya sendiri.
     Pengertian authoritative parenting menurut King (2014) “A parenting style that encourages the child to be independent but that still places limits and controls on behavior”. Dalam pola asuh ini, seorang anak sudah diberikan kebebasan, namun orang tua masih mengontrol perilaku mereka.
     Pengertian neglectful parenting menurut King (2014) “A parenting style characterized by a lack of parental involvement in the child’s life”. Dalam pola asuh neglectful ini, orangtua tidak terlalu terlibat dalam kehidupan anaknya. Orangtua terlihat lebih cuek dengan perkembangan anaknya sendiri.
     Pengertian permissive parenting menurut King (2014) “A parenting style characterized by the placement of few limits on the child’s behavior”. Dalam pola asuh ini, seorang anak banyak diberi kebebasan dan dengan control yang sangat sedikit dari orangtua mereka.

Perkembangan Psikososial Anak Usia 6-12 Tahun
     “Memahami perkembangan psikososial anak” (2014) mengatakan psikososial meliputi perubahan dan stabilitas dalam kepribadian dan hubungan sosial seseorang." Jadi, perkembangan psikososial itu merupakan perubahan dan stabilitas serta hubungan anak tersebut dengan sesamanya. Setiap manusia adalah makhluk sosial.
    Pada anak-anak usia 6-12 tahun, anak-anak sedang menempuh sekolah pendidikan dasar. Mereka biasanya mempunyai beberapa teman dan beberapa musuh. Bagi anak-anak SD akhir, mereka biasanya menghabiskan waktu dengan pergi jalan-jalan ke mall dan menginap di rumah teman (“Memahami perkembangan psikososial anak”, 2014).

Dampak dari Pola Asuh Otoriter
     Dampak positif. Dampak positive dari pengasuhan otoriter yaitu anak menjadi seorang yang patuh. Seorang anak akan mendengarkan setiap perintah yang diberikan oleh orangtuanya (Muljono, 2014). Bagi seorang anak yang sudah biasa diperintah, maka ia akan mudah untuk mengikuti setiap aturan dan perintah yang diberikan oleh orang lain.
     Dampak negatif. Dampak negatif dari pola asuh otoriter, yaitu (a) tidak mempunyai kekuatan untuk mengatakan tidak, (b) takut salah, (c) tidak mempunyai kekuatan untuk memilih, (d) tidak bisa mengambil keputusan sendiri, dan (e) takut berbicara/mengungkapkan pendapat (Muljono, 2014). Setiap anak yang yang sudah terbiasa diperintah tanpa bisa memilih jalannya sendiri akan menjadi seorang yang tidak bisa menentukan tujuan hidupnya sendiri.
   
Dampak Pola Asuh Otoriter terhadap Perkembangan Psikososial Anak
     Dampak dari pola asuh otoriter adalah anak menjadi susah bergaul dengan anak lain akibat terlalu banyaknya perintah atau tuntutan dari orang tua mereka. Anak-anak dalam usia 6-12 tahun masih senang dengan bermain serta menemukan hal-hal baru. Mereka akan mencoba melakukan pekerjaan rumah tangga, bermain setiap olahraga yang, membaca-baca buku, dan mencari tahu tentang apapun yang mereka temukan (“Memahami perkembangan psikososial anak”, 2014). Namun, hal tersebut banyak yang tidak bisa dirasakan oleh anak-anaknya karena orangtua yang banyak memaksa anaknya untuk melakukan setiap perintah yang ia katakana. Mereka tidak segan-segan untuk mehukum anaknya jika tidak menjalani setiap perintahnya.
     Orangtua banyak memaksa anaknya untuk mencapai apa yang ia inginkan tanpa memikirkan bagaimana caranya. Sehingga anak-anak menggunakan cara-cara yang tidak baik untuk mencapainya. Padahal, keberhasilan dicapai dengan kerja keras dan terdapat tahapan serta prosesnya (Susana et al., 2006, h. 71). 
   
Simpulan
     Seperti yang dibahas dalam pembahasan di atas. Dapat dilihat bahwa dampak negatif dari pengasuhan dengan sistem otoriter lebih banyak dari pada hal positifnya. Banyak dampak negatif yang dapat diberikan oleh pengasuhan dengan tipe otoriter.
     Hal-hal tersebut tentu mengganggu perkembangan psikososial anak usia 6-12 tahun. Anak-anak menjadi susah untuk bersosialisasi dengan orang lain karena banyaknya paksaan atau tekanan yang diberikan oleh orangtuanya. Akibatnya, anak menjadi susah untuk berkembang dengan baik dan membuatnya susah untuk berbicara dengan orang lain.
    
Saran
      Sebaiknya, orangtua memberikan keleluasaan bagi anaknya untuk memilih apa yang ia inginkan. Fungsi orangtua sebagai pengawas dan pembimbing untuk anak itu menentukan pilihannya. Agar setiap anak dapat meraih cita-citanya dan menggunakan setiap aspek kemampuannya dengan maksimal.














Daftar Pustaka

Baraja, A (2005). Psikologi perkembangan: Tahapan-tahapan & aspek-apeknya. Jakarta: Studia Press.
Gunarsa, S. D., & Gunarsa, Y. S. (1995). Psikologi praktis: Anak, remaja dan keluarga. Jakarta: Gunung Mulia.
King, L. A. (2014). The science of psychology: An appreciative view (3th ed.). New York, NY: McGraw Hill.
Memahami perkembangan psikososial anak (2014). Diunduh dari http://www.kancilku.com/Ind/index.php?option=com_content&task=view&id=397
Santoso, M. V., Anjani, N. D., Fadila, B. R., Faizah, Roosyida, dan Tiananda, M. (2014). Perkembangan sosial dan emosi anak usia 7-11 tahun (psikologi perkembangan). Diunduh dari   http://www.slideshare.net/atone_lotus/perkembangan-sosial-dan-emosi-anak-usia-711-tahun-psikologi-perkembangan
Susana, T., Arini, T. A., Wanei, G. K., Adiyanti, Gamayanti, I. L., Hidajat, L. L., Widyastuti, V. (2006). Konsep diri positif, menentukan prestasi anak. Yogyakarta: Kanisius.
Yusuf, S. (2000). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.


Wednesday, November 5, 2014

Pembulian Secara Fisik yang Terjadi di Sekolah

Latar Belakang Masalah
     Pada saat ini, bullying yang terjadi di sekolah sudah merupakan hal yang biasa terjadi. Banyak anak-anak yang memegang kekuasaan sehingga ditakuti oleh adik-adik kelasnya, bahkan angkatannya sendiri. Hal ini tentu saja sangat membuat kegiatan belajar mengajar di sekolah terganggu.
     Bullying yang dilakukan oleh anak-anak tersebut bisa berupa bullying secara fisik, verbal, cyber, dll.Namun pada artikel saat ini hanya membahas tentang bullying secara fisik. Arti dari bullying adalah "tindakan negatif secara fisik atau lisan yang menunjukkan sikap permusuhan, sehingga menimbulkan distress bagi korbannya, berulang dalam kurun waktu tertentu dan melibatkan perbedaan kekuatan antara pelaku dan korbannya” (Craig dan Pepler, 2008). Ada pula menurut Susanti (2006) mengatakan “penindasan, penggencetan, perpeloncoan, pemalakan, pengucilan, atau intimidasi”.

Penyebab Terjadinya Pembulian
     Faktor keluarga. Pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang bermasalah: orangtua yang kerap menghukum anaknya secara berlebihan atau situasi rumah yang penuh stres, agresi dan permusuhan. Anak akan mempelajari perilaku bullying ketika mengamati konflik-konflik yang terjadi pada orangtua mereka dan kemudian menirunya terhadap teman-temannya. Atau sering terjadi tindak kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anaknya, ketika anak tidak berani melawan orang tua, maka “perlawanan” ini ditujukan pada teman-temannya. Penelitian juga menunjukkan bahwa Socolar (dikutip dalam Goodwin, 2010) “seorang anak laki-laki yang bertumbuh dari ibu yang menjadi korban skekerasan, memiliki kemungkinan 10 kali lebih besar untuk melakukan kekerasan pada pasangannya kelak” (h. 39). (“Mengapa Mereka Melakukan Bullying”, 2012)
     Faktor sekolah: Karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying ini, terutama pada kasus kekerasan verbal dan relasional, anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi anak-anak yang lainnya. Bullying berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah yang didalamnya terdapat perilaku diskriminatif, kurangnya pengawasan dan bimbingan etika, adanya kesenjangan besar antara siswa yang kaya dan miskin, pola kedisiplinan yang sangat kaku ataupun yang terlalu lemah, bimbingan yang tidak layak dan peraturan yang tidak konsisten. (“Mengapa Mereka Melakukan Bullying”, 2012)                                            
     Faktor kelompok sebaya: Anak-anak ketika berinteraksi di sekolah dan dengan teman sekitar rumah kadang kala terdorong melakukan bullying untuk membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu, untuk mendapatkan respek dari teman, atau untuk menunjukkan di depan teman-temannya bahwa dia punya kekuatan, dia yang paling berani, dialah orang yang berkuasa dikelompoknya. (“Mengapa Mereka Melakukan Bullying”, 2012)  
    Faktor lingkungan: Lingkungan sekitar rumah sangat besar pengaruhnya terhadap perilaku bullying, misalnya anak hidup pada lingkungan orang yang sering berkelahi atau bermusuhan, berlaku tidak sesuai dengan norma yang ada, maka anak akan mudah meniru perilaku lingkungan itu dan merasa tidak bersalah, atau menganggapnya sebagai hal yang biasa yang tidak melanggar norma. (“Mengapa Mereka Melakukan Bullying”, 2012)    

Dampak dari Bullying
      Gangguan kesehatan bagi korban. Gangguan kesehatan yang dialami si korban bullying tersebut bisa dibagi lagi menjadi dua, yaitu gangguan kesehatan mental dan juga gangguan kesehatan fisik. Kedua hal tersebut pasti sering dirasakan oleh si korban.
     Gangguan kesehatan mental. Gangguan mental yang dialami si korban bisa berupa perasaan ketakutan yang berlebihan, tidak lagi mau datang ke sekolah, perasaan rendah diri, trauma untuk tidak mau belajar lagi. Bahkan seorang anak yang dibully terus oleh teman-temannya dapat melakukan tindakan bunuh diri. (Muljono, 2014)
     Gangguan kesehatan fisik. Gangguan kesehatan fisik yang dapat dialami seorang korban bullying adalah memar karena dipukuli atau ditampar, cacat permanen akibat pukulan-pukulan, dan rusaknya organ tubuh.

     Gangguan kesehatan bagi pelaku. Gangguan yang dapat dialami pelaku adalah dia akan merasa selalu ingin menang sehingga ia akan melakukan segala macam cara untuk mendapatkan apa yang iya inginkan, bukan dengan cara yang baik namun ia bisa melakukannya dengan cara-cara yang tidak sepantasnya ia lakukan. Namun, jika ia tidak bisa mendapatkannya, ia bisa menjadi stress atau marah-marah sendiri. Lebih parahnya lagi ia bisa menjadi gila.

Cara Penyelesaian
     Cara menanggulangi yang paling ampuh bagi anak-anak yang terbiasa melakukan tindakan bullying adalah dengan rehabilitasi. Namun kita bisa mencegah agar anak-anak tidak melakukan tindakan bullying, yaitu (a) menanamkan dampak-dampak dari bullying sebagai bahan mata pelajaran, (b) mengadakan kuliah umum tentang bullying, dan (c) mendidik anak bukan dengan paksaan tetapi dengan kasih sayang. Dengan cara-cara tersebut, bullying dapat diminimalisir sehingga Indonesia tidak lagi menjadi negara nomor 2 tertinggi dalam bullying.

Kesimpulan
      Bullying merupakan tindakan yang sudah mendarah daging di Indonesia ini. Namun kita dapat menghentikan tindakan tersebut dengan dimulai dari diri kita sendiri sehingga Indonesia bisa bebas dari tindakan bullying.



Sumber: 
Goodwin, D. (2010). Strategi mengatasi bullying (C. Evi, Penerj.). North Richmond, NSW: Kidsearch. (Karya asli diterbitkan pada tahun 2009)

Mengapa mereka melakukan bullying (2012). Diunduh dari   http://www.konselorsekolah.com/2012/04/mengapa-mereka-melakukan-bullying.html